EDWARD - BABI-PIKO Impedit quo minus id Voluptates repudiandae kon Mauris euismod rhoncus tortor

Rabu, 17 Desember 2025

Day #45 - Distraksi

0 komentar

Harusnya hari ini sudah jauh lebih tenang, tapi nyatanya otak Piko masih saja gaduh mencari celah untuk menyebut namanya. Sejak tanggal 27 November 2025, Piko memutuskan untuk menambah satu lagi cara "menahan diri": sebuah sepeda. Piko memberinya nama Sumi. Dalam bahasa Jepang, Sumi berarti tinta, tapi alasan personalnya jauh lebih konyol—karena Piko sering memanggil Mei dengan sebutan "Cumi".

Sumi hadir sebagai distraksi tambahan selain ritual lari pagi jam 04.30 dan menjadi robot efisien di kantor. Piko merasa perlu membakar lebih banyak energi supaya harapan-harapan tidak realistis itu tidak punya ruang untuk tumbuh lagi. Alhasil, Piko sekarang bersepeda ke kantor tiga kali seminggu, lalu menuliskan pengalamannya di jalan sebagai Sumi Story.

Apakah cara ini berhasil? Ternyata tidak terlalu.

Realitasnya, hari Minggu lalu, tanpa rencana yang matang, kaki Piko malah mengayuh pedal menuju sekitaran apartemen Mei. Jarak 100 km pulang pergi ditempuh hanya untuk berada di radius yang sama dengannya. Rasa rindu sebagai kata kerja itu memang berbahaya; dia mendorong Piko melakukan hal-hal yang melelahkan fisik secara ekstrem.

Sesampainya di sana, Piko merasa terlalu segan dan malu untuk sekadar menyapa atau mengirim pesan "Hai". Akhirnya, Piko hanya mengunggah sebuah WhatsApp Story—sebuah pesan botol yang dilempar ke laut digital.

Untungnya, Mei melihatnya, bagi Piko yang sedang berusaha mengontrol "keberisikan" otaknya, itu sudah cukup untuk membuat jantung berdebar. 

Gue kangen sama Lo Cumi :) 


Read More

Kamis, 04 Desember 2025

Day #32 - Patah

0 komentar

Kemarin seharusnya jadi cerita baru, cerita di mana perjuangan Piko akhirnya dihargai oleh semesta. Hari ke-31, dan Piko sudah bangun lebih pagi, berlari lebih cepat dan riang, karena harusnya bisa bertemu dengan Mei.

Jantung ini kembali berdetak kencang, seperti pertama kali Piko berhasil dapat chat duluan darinya. Bukan lagi debar gugup atau sakit dada, tapi thrill dari sebuah petualangan yang terukir manis. Dan kali ini, semua terasa begitu lancar. Mei meluangkan waktu. Waktu yang dia sendiri tetapkan. Semuanya tercentang sempurna.

Piko sudah siap. Setelah mandi, bukan cuma sarapan proper, tapi Piko sempatkan mampir untuk mengambil sesuatu yang spesial.

Di dalam tas Piko, terbungkus rapi, ada jam tangan Garmin putih. Bukan sekadar hadiah, buat Piko, dengan Jam ini, Piko bisa menjaga Mei dari jauh, memastikan dia bisa "kontrol waktu istirahatnya" dan melacak latihannya. Piko ingin Mei juga sehat.

Piko gak berangkat kantor, karena sudah ajuin cuti, tapi setiap tiga menit sekali, mata Piko melirik jam. Hanya tinggal hitungan jam. Rasa rindu itu bukan lagi kata kerja yang harus dibatasi 10 menit, tapi rasa bahagia yang tak terukur. Harapan itu melambung tinggi , seperti roket yang siap lepas landas, tapi kali ini Piko yakin, ini realistis. Piko sudah memetakan harapan ini.

Waktu udah menunjukan jam 11 gak ada yang salah, semuanya luar biasa aman terkendali, dan tiba-tiba, atasan Piko telepon, dia meminta Piko menggantikannya ke meeting. "Wangsit" katanya. Wangsit yang berarti Piko harus segera berangkat.

Seluruh udara di ruangan mendadak padat. Jantung Piko yang tadi berdegup gembira, kini berdebar kencang karena rasa sakit yang harusnya sudah terbiasa. Kekosongan itu kembali menyeruak , hening itu berisik. Rasanya seperti laci yang tertutup rapat, dan semua skenario indah di kepala Piko langsung ambyar.

Hanya tinggal beberapa menit sebelum Piko mengirim pesan sederhana: "Aku sudah di jalan," atau "Sampai ketemu." berubah menjadi Permintaan Maaf karena pembatalan mendadak kali ini datangnya dari Piko

The mind is a noisy place. Dalam otak Piko, semua yang Mark Manson ajarkan tentang Harapan sebagai pisau bermata dua berputar-putar. Harapan yang berlebihan berbahaya. Dan Piko baru saja menaruh HOPE ketinggian lagi. Kegagalan ini menghempaskannya terlalu jauh.

Sekarang Piko bahkan terlalu malu untuk menyapa Mei


Read More
Diberdayakan oleh Blogger.