Piko ingat betapa menyenangkannya saat pertama kali menemukan Mei, Piko bisa dengan bebas
Tapi kemudian, entah sejak kapan, itu semua berubah. Piko mulai memikirkan, “Apakah Piko harus menulis lebih banyak? Lebih sedikit? Apakah yang Piko katakan tadi bodoh? Pasti bodoh, ya?” Mulai berharap Mei berikan sedikit atensi, balasin chat, atau terakhir Piko bahkan mulai kurang ajar sampai berharap Mei bisa kangen sama Piko. Sungguh gak tau diri.
Piko mencoba tunjukan yang terbaik
Namun dalam waktu berdekatan dengan elegan Mei, tunjukin ke Piko, seberapa pun kuatnya Piko mencoba mendekat, seberapa pun murni niat Piko, seberapa pun tulusnya keinginan Piko
Sebenarnya Piko udah biasa menjadi tidak terlihat, atau tidak dianggap karena terlahir miskin dan berpenampilan buruk. Tapi di usia setua ini, Piko tidak akan berperang lagi melawan kondisi itu, iklas dan menerima kenyataan bahwa Piko bukan siapa-siapa.
Mungkin, koneksi yang nyata
Mungkin cara paling tulus untuk menyayangi Mei adalah dengan menyimpannya dalam hati, tanpa mengharapkan apa-apa—bahkan sekadar percakapan.
Piko berusaha menjadi versi yang lebih baik, yang tidak tersesat dalam harapan yang Piko bikin sendiri di Kepala Piko. Harapan tentu saja ada. Piko tetap berharap Mei ingat bahwa desember nanti Piko bisa jalan-jalan bareng Mei dan Adik2nya, Piko tetap berharap Februari nanti Mei ingat bahwa Piko mau bawakan buket Bunga untuknya, dan Ketika Mei berfikir untuk Kuliah, Mei akan ingat Piko karena Piko udah janji untuk bantu Mei kuliah.
Lalu bagaimana dengan Mei? Bagi Piko, Mei akan tetap menari dengan anggun, sibuk dengan gemerlapnya sendiri, mengalir Indah dalam alurnya, Piko hanya tidak akan berusaha lagi berenang melawannya.
0 komentar:
Posting Komentar